Ngobrol Bersama Ibu Penggugat UU Narkotika agar Ganja Medis Legal di Indonesia. (BERITA RADIO)
DWI PERTIWI DI KEDIAMANNYA DI YOGYAKARTA. FOTO OLEH
IKHWAN HASTANTO/VICE INDONESIA
Dwi Pertiwi
menuntut legalisasi mariyuana medis ke M-K agar anaknya yang lumpuh otak bisa
terapi// Sang putra meninggal saat persidangan masih berjalan/ tapi ia
memutuskan jalan terus// Musa Ibn Hassan Pedersen adalah
satu-satunya alasan untuk semua keputusan hidup Dwi Pertiwi// Tiga
bulan setelah melahirkan Musa pada 2004/ Dwi dihantam kabar mengejutkan//
Dokter menyatakan Musa menunjukkan tanda-tanda meningitis, atau infeksi selaput
otak// Infeksi ini memicu kondisi lanjutan bernama cerebral
palsy atau lumpuh otak/ yakni kelainan pada saraf dan otot yang
mengganggu kemampuan motorik pengidapnya///
Di
Indonesia, dari setiap 1.000 bayi yang dilahirkan, sembilan di
antaranya berpeluang mengidap cerebral
palsy// Dwi paham benar sedang berada di kelompok
statistik yang mana/ Ia harus menerima tak bisa membesarkan
Musa sebagaimana 991 ibu lainnya// Dwi menyambut tantangan hidup
tersebut dengan pelukan tererat// Ia bertekad agar Musa tumbuh
dalam lingkungan terbaik yang ia bisa berikan sebagai orang tua tunggal//
Dwi merintis usaha karena sadar biaya pengobatan dan terapi anaknya jauh dari
kata murah/ Ia pindah dari Surabaya/ kota asalnya/ ke Yogyakarta dengan
harapan Musa mendapat akses kesehatan lebih baik// Dwi bahkan mendirikan klinik
kesehatan sendiri untuk Musa// lembaga yang nantinya turut membantu anak-anak
penderita cerebral palsy lain
agar mendapat akses terapi dengan harga terjangkau// Musa adalah
satu-satunya alasan untuk semua keputusan hidup Dwi///
Perkenalan Dwi dengan terapi
ganja medis terjadi pada 2015// Mencari alternatif perawatan Musa/
Dwi melihat di YouTube bagaimana terapi ganja berhasil menghentikan
kejang-kejang seorang anak pengidap epilepsy langka dravet syndrome bernama Charlotte Figi// “Kejangnya benar-benar berhenti/ sama sekali
berhenti// Di situ aku mulai ngulik apa sih ganja itu/ apa sih [kandungan] di
dalamnya yang bagus untuk otak/” kata Dwi saat VICE temui di
kediamannya di Yogyakarta// Untuk lebih memahami
konteks: menghentikan kejang adalah tindakan krusial bagi para
pengidap cerebral palsy// Dalam setiap terapi/ anak cerebral palsy rutin diajarkan dan dilatih untuk menggerakkan
anggota badan sebagaimana mestinya// Namun/ setiap kemajuan yang sudah
dihasilkan akan lenyap begitu saja apabila anak mendadak mengalami kejang/
membuat terapi harus dimulai dari nol lagi// Anak yang awalnya sudah bisa duduk
sambil bepegangan akan balik lagi seperti bayi/ kembali belajar merangkak
atau berguling kiri-kanan///
Bisa dibayangkan/ betapa
besarnya harapan Dwi ketika mendapati informasi terapi
mariyuana medis// Hilangnya kejang akan membinasakan satu-satunya halangan
Musa berkembang// Di kuartal terakhir 2016/ Dwi membawa Musa ke Victoria/
salah satu negara bagian Australia/ awalnya karena urusan pekerjaan// Kebetulan/ pada
tahun yang sama pemerintah setempat melegalkan ganja untuk
keperluan medis// Dwi lantas mendapati seorang teman yang melakukan terapi
ganja isap meringankan kanker paru-paru yang dideritanya// Berbekal
pengetahuannya setelah mengulik isu ini, ia langsung mengambil kesempatan// “Aku
minta [ganjanya dia]/ aku bikin kayak dupa// Aku bakar di kamarnya Musa sebelum
dia tidur// Begitu kamarnya penuh asap/ baru dia masuk// Dia kemudian menjadi
tenang/ tenang/ lalu tertidur/” cerita Dwi// “Hampir dua bulan kami di sana/
setiap hari kukasih [terapi asap ganja] sebelum tidur// Kejangnya berhenti/
enggak ada sama sekali// Harapan muncul/ ternyata bagus untuk anakku// Dia
lebih aware/ diajak ngomong dan dipanggil itu mulai cari-cari
[arah suara dari mana]/ meskipun masih bingung ada di sebelah mana///”
Harapan terbentur dinding
setelah Dwi harus pulang ke tanah air pada akhir 2016// Kegelisahan muncul
karena kepulangan berarti terapi ganja medis untuk Musa mesti dihentikan//
Di Indonesia/ pemerintah melarang penggunaan ganja untuk
keperluan medis sekalipun lewat U-U 35/2009 tentang
Narkotika// Apa mau dikata/ Dwi harus kembali pada terapi
dan konsumsi obat-obatan yang sudah ia lakukan sebelum berangkat ke
Australia// “Kalau obat modern itu namanya Depakene [salah satu merek
dagang produk asam valproate]/ sama satu lagi asam valproate// Tapi/
semakin besar anak/ semakin besar pula kebutuhannya dan ada efek sampingnya:
gusi bengkak/ bibir pecah-pecah/ pendarahan di mulut/” tutur Dwi// Apa yang
ditakutkan Dwi benar terjadi// Tiga bulan sejak lepas dari terapi ganja medis
di Australia/ Musa kembali kejang// Mulanya kejang sebulan sekali/ lantas
lebih sering menjadi seminggu sekali// Kemajuan terapi sebelumnya
harus diulang dari awal// Berkali-kali// Bertahun-tahun///
Sampai akhirnya pada November
2020/ Dwi memutuskan meminta paksa hak atas akses kesehatan anaknya yang selama
ini direnggut negara lewat U-U Narkotika/ Bersama Santi dan Novia/ dua ibu
yang anaknya juga mengidap cerebral palsy/ Dwi mengajukan uji materi U-U Narkotika ke
Mahkamah Konstitusi// Ketiganya meminta MK membatalkan pasal yang
membuat ganja medis tak bisa diakses masyarakat yang membutuhkan//
Kuasa hukum Dwi-Santi-Novia/ Ma’ruf Bajammal/ menjelaskan
gugatan tersebut dilandasi tiga hal// Pertama/ bahwa pelarangan
narkotika golongan I (yang ganja masuk dalam golongan ini) untuk
pelayanan kesehatan tidak sejalan dengan hak warga negara yang dijamin dalam U-U-D
1945 Pasal 28H ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak sehat// Kedua/
pelaksanaan U-U Narkotika bertentangan dengan semangat pembentukan U-U yang
melegitimasi narkotika untuk berkontribusi pada pelayanan kesehatan// Ketiga/
sudah ada contoh legalisasi ganja medis dalam bentuk minyak C-B-D di
40 negara lain/ seperti Denmark/ Belanda/ Jerman/ Amerika Serikat/ dan
Thailand///
Di Amerika Serikat/ B-P-O-M setempat/ U-S
Food and Drug Administration/ juga telah
menyatakan senyawa kimia pada tanaman ganja bernama cannabidiol (C-B-D) adalah alternatif
pengobatan baru// Sebab, komponen ini tidak menyebabkan
pemakainya berhalusinasi maupun ketergantungan// Dwi/ Santi/ dan Novia menjelma jadi garda terdepan isu
legalisasi ganja medis begitu gugatan tersebut terekspose media//
Ketiganya banjir dukungan karena merekalah yang pertama kali mempertanyakan di
pengadilan alasan negara mengabaikan berbagai temuan ilmu pengetahuan
bahwa ganja sudah terbukti menyelamatkan nyawa// Tapi bukan cuma dukungan/
Dwi juga menerima cibiran “mendukung barang haram”// Ia tak peduli/ menyelamatkan
Musa lebih penting///
Ujian
terbesar itu lalu dating// Musa meninggal dunia pada Desember 2020/
sepuluh hari setelah sidang perdana gugatan untuk memperjuangkan
hak hidup sehat bagi bocah lelaki itu// Kematian Musa membuat Dwi semakin kukuh
pada gugatannya// "Enggak [ingin mundur]// Malah marah dan maju/"
kata Dwi/ "Musa could have been saved if they were not too blind and
ignoran//." Empat bulan setelah Musa tiada/ kuasa hukum penggugat
sekaligus Direktur Institute for Criminal and Justice Reform Erasmus Napitupulu meminta majelis
hakim tetap melanjutkan persidangan///
“Banyak [Musa-Musa yang lain]// Di Jogja aja ada lima ribu lebih/” kata
Dwi/ tentang alasannya terus berjuang meski bila berhasil Musa tak akan
merasakannya// “Aku sudah mengalaminya/ gimana seorang ibu yang tidur aja
enggak bisa tenang karena takut anaknya kejang// Setiap kali anak kejang/ kami
[ibu dengan anak cerebral palsy] jadi waswas// ‘Waduh/ reset lagi nih//’ Itu sudah enam belas tahun
umurnya Musa/ aku setiap hari seperti itu hidupnya//” Keluarga dengan
anak cerebral palsy sedianya mendapat bantuan dari pemerintah
sebesar Rp250 ribu per bulan// Tapi insentif segitu cuma 1/30 ongkos
pengobatan// Rinciannya: biaya satu kali terapi biasanya Rp200-250 ribu/ idealnya
dilakukan setiap hari// Sedangkan obat-obatan dalam sebulan
menghabiskan Rp1,5 juta// Obat-obatan tak bisa disetop karena membuat
kejang makin parah// “Perjuangan kami ini supaya anak mendapatkan kualitas
hidup yang lebih baik// Kami cuma minta dukungan pemerintah// Kalau pemerintah
enggak mau dukung ya enggak apa-apa/ tapi usaha kami jangan di-block dong/” katanya///
Saat artikel ini ditulis/ Dwi
dan tim kuasa hukumnya sedang mempersiapkan saksi ahli untuk sidang 12
Oktober mendatang// Saat saya tanyai prediksinya soal hasil
sidang kelak/ Dwi menjawab tegas/ “Legal sih// Legal//” “Kalau enggak
legal/ bakal malu mereka [pemerintah]// Thailand aja udah legal/ kemudian negara
yang sangat membenci narkoba dengan hukuman mati seperti Malaysia sudah proses
menuju legal/ Respons dari semua hakimnya juga antusias/ menanyakan hal-hal
yang spot on kepada kami//
Meskipun nanti setelah itu [M-K membatalkan pasal larangan ganja medis]/ [proses revisi]
U-U-nya akan butuh waktu agak lama/ tapi yang penting diketok dulu lah//” Dwi
sontak tertawa saat saya bilang apa yang ia lakukan sekarang persis
cerita-cerita lahirnya para superhero// Mengawali gugatan untuk menyelamatkan
anaknya sendiri/ Dwi tetap melanjutkan perjuangannya meski Musa
tak ada/ agar anak-anak lumpuh otak lain tidak mengalami apa yang
Musa alami: kehilangan kesempatan meraih kesehatan///
Klinik yang ia buat
untuk terapi Musa kini telah dibuka untuk umum// “[Bikin
klinik] supaya teman-teman Musa mendapatkan terapi yang bagus/ yang affordable// Karena mahal banget [harga terapi] dan itu
enggak di-support sama pemerintah kan// Terapi harusnya tiap
hari// Tapi/ enggak semua orang bisa bayar tiap hari Rp200 ribu untuk terapi//
Akhirnya/ kalau di klinikku/ orang tuanya kami latih supaya bisa terapi di
rumah/” kata perempuan 46 tahun itu// Dwi juga
punya misi mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak cerebral palsy di kliniknya// Tapi sebelum sampai ke
sana/ pelegalan cara meredakan kejang para anak lumpuh otak/ salah
satunya lewat terapi ganja medis/ harus selesai dulu// Ada raut
penyesalan di wajah Dwi saat saya menyinggung keputusannya
pulang ke Indonesia// Bukankah di Australia Musa sudah mendapatkan apa yang ia
butuhkan?///
“Itulah bodohnya aku ya/”
jawab Dwi. Ia bercerita/ kondisi saat itu membuatnya serbasalah//
Setidaknya ada 5 ribu petani/ kebanyakan kepala keluarga/ menggantungkan
hidup kepada Dwi// Dari 5 ribu orang itu/ mereka punya anak dan
beberapa ada yang seperti Musa// Saat itu Dwi merasa harus pulang ke
Indonesia untuk bersama dengan petani secara langsung// Opsi
bekerja jarak jauh tak terlintas di kepalanya// Ia tampak masih dihantui
keputusan tersebut// “Ini yang bikin aku merasa bersalah sama Musa// Aku
mendirikan perusahaan itu untuk Musa/ tapi Musa malah enggak dapat perhatian
secara penuh// Tapi/ kalau aku enggak kerja/ dia enggak dapat benefit-nya/ enggak akan mendapatkan terapi atau
obat-obatan yang mahal-mahal itu/” cerita Dwi// Kini/ gugatan U-U Narkotika ke
M-K menjadi salah satu penebusan Dwi untuk Musa// Ia meyakini itu// “Aku
yakin dia ikhlas karena [perjuangan ini membuat] teman-temannya bisa menjadi
lebih baik//”///
NAMA : MUHAMMAD
RAHMANDHITO WIRATAMA
KELAS :
2BA01
NPM :
22029040
SUMBER : VICE INDONESIA
Comments
Post a Comment